KH. Samanhudi - Pedagang Batik Berpikiran Progresif, Pencetus Organisasi Beranggota Masif.

KH. Samanhudi dan Sarekat Islam
KH. Samanhudi
Lahir : Laweyan, Surakarta, 1868
Wafat : Klaten, 28 Desember 1956
Makam : Sukoharjo, Solo, Jawa Tengah
Gelar : SK Presiden RI No. 590 / 1961

Narasisejarah.me - Hai sobat sejarah bertemu lagi pada seri pahlawan nasional. Pada kesempatan kali saya akan mengajak sobat untuk mengenal sosok pahlawan berlatar belakang pedagang yang sangat peduli akan nasib kehidupan pribumi di Surakarta. Ia dikenal sebagai pendiri organisasi berbasis agama terbesar pada masa pergerakan. Namanya kini diabadikan menjadi nama sebuah museum di Surakarta. Siapakah gerangan dirinya? Benar, ia adalah KH. Samanhudi. Baiklah mari simak narasi sejarah sederhananya di bawah ini.

Genealogi KH. Samanhudi 

KH. Samanhudi lahir di Laweyan, Surakarta pada tahun 1868. Semasa kecil ia bernama Sudarno Hadi yang kemudian berubah menjadi Supandi Wiryowiguno. Samanhudi memiliki dua orang saudara kandung yaitu Haji Alwi dan Haji Amir. Ayahnya bernama H. Muhammad Zen, seorang pedangang batik yang cukup terkenal di Surakarta. Kakeknya bernama Kartowikoro.

Saat usianya menginjak 19 tahun, tepatnya tahun 1887, Samanhudi menikah dengan seorang putri yang bernama Suginah, anak Kiai Bajuri. Pernikahannya bersama Soeginah dikaruniai 8 (delapan) anak, yaitu:

1. Sawab Tjokrowiguna
2. Ny. Wapinah Atmohartono
3. Sadjad Soekamto Samanhudi
4. Sofyan
5. Sahlan Sastro Martono
6. Slamet Samsulaiman
7. Ny. Wahiyah Tjitro Hartono
8. Ny. Wasinah Puspa Atmadja

Beberapa tahun kemudian, ia menikah lagi dengan gadis bernama Marhingah. Dari pernikahannya yang kedua, Ia dikaruniai seorang putra bernama Samsu Zen Soemaryono, sehingga anak KH. Samanhudi dari dua pernikahannya ada 9 orang.

Pendidikan KH Samanhudi

Terlahir di keluarga dan lingkungan yang religius berimbas pada pendidikan awal yang diperoleh oleh Samanhudi. Pendidikan pertamanya adalah mengaji Al-Quran, kemudian belajar agama dari Kiyai Jejorno. Ia pernah masuk sekolah rakyat (Volks School) pada masa penjajahan di Surakarta, selanjutnya ia sempat mengenyam pendidikan barat di luar Surakarta tepatnya di HIS (Hollandsch Indische School), sekolah rendah dengan bahasa pengantar Belanda di Madiun tetapi ia tidak sempat menyelesaikannya.

Samanhudi kecil dikenal sebagai anak yang rajin belajar namun terbatasnya kesempatan bersekolah pendidikan barat membuatnya memutuskan untuk mendalami ilmu agama. Ia pernah menimba ilmu di pondok pesantren (Ponpes) KM Sayuthy (Ciawigebang), Ponpes KH Abdur Rozak (Cipancur), Ponpes Sarajaya (Kabupaten Cirebon), Ponpes (Kabupaten Tegal), Ponpes Ciwaringin (Kabupaten Cirebon), dan Ponpes KH Zainal Musthofa (Tasikmalaya).

Kilau Bakat Berdagang yang Kian Benderang

Perjalanan pendidikan Samanhudi muda memang tidak berjalan dengan baik, namun hal itu tidak menghentikan Samanhudi muda untuk terus melangkah maju. Samanhudi muda mulai membantu ayahnya untuk berdagang batik. Usaha batik yang digelutinya bermula dari magang dalam perusahaan keluarga.

Perkembangan usaha batik milik Samanhudi tidak terlepas dari pengaruh situasi ekonomi dan budaya di Surakarta. Kota Surakarta merupakan salah satu wilayah penghasil batik ternama. Industri batik di Surakarta terpusat di dua tempat, yakni di Kauman dan Laweyan.

Pada awal abad XX, pendukung terbesar tumbuhnya pengrajin dan pedagang batik di Laweyan adalah: Pertama, budaya kraton yang memberikan nilai lebih bagi jenis batik tertentu sebagai status sosial mereka. Kedua, batik sudah menjadi komoditas konsumsi rakyat Surakarta. Dua faktor inilah yang menjadikan Laweyan sebagai pusat kerajinan batik di Surakarta sehingga banyak rakyat disekitaran Laweyan yang berprofesi sebagai pedagang ataupun pengrajin batik. Mayoritas usaha pedagang batik di Laweyan adalah perusahaan keluarga tidak terkecuali usaha batik milik Samanhudi.

Samanhudi muda ternyata memiliki bakat dalam usaha dagang batik. Pada usia 19 tahun, ia memberanikan diri untuk secara mandiri berdagang batik lepas dari perusahaan keluarganya. Kepribadiannya yang ramah dan berjiwa sosial membuatnya dikenal sebagai saudagar batik yang dinamis di kalangan pemuda Solo. Interaksi sosial dengan pekerjanya tidak didasari pada hubungan tuan dan bawahan tetapi berlandasarkan persaudaraan. Dalam waktu yang relatif singkat usaha batik milikinya mengalami perkembangan yang pesat dan ia pun membuka cabang-cabang perusahaanya di berbagai kota di Jawa, seperti Surabaya, Banyuwangi, Tulungagung, Purwokerto, Bandung dan Parakan.

Cabang usaha batik yang ada di Bandung di kelola oleh saudara kandungnya, Haji Amir yang terkenal dengan perkumpulan Darmo Loemekso. Diperkirakan keuntungan yang diperolehnya tidak kurang dari f2000 perhari. Keuntungan usahanya yang begitu besar menciptakan situasi dimana Samanhudi mampu memberikan pinjaman kepada mereka yang membutuhkan tidak terkecuali bangsawan kraton.  
KH. Samanhudi.di masa kejayaan
KH. Samanhudi.di masa kejayaan
Situasi itu membuat hubungan baik Samanhudi dengan kerabat kraton semakin terjalin. Hubungan pribadi Samanhudi dan Pakubuwana X dapat dikatakan sangat erat. Pakubuwono X pernah memberikan kesempatan kepada Samanhudi untuk memberikan ular-ular (bagi kedua mempelai) saat pernikahan Pakubuwana X dengan Ratu Hemas (Putri Hamengkubuwana X) pada tahun 1915.  

Pedagang Batik yang Berpikiran Progesif.

Pada tahun 1904, Samanhudi pergi ke Mekkah untuk menjalankan ibadah haji. Selama menjalani ibadah haji (1904-1905), Samanhudi juga berkesempatan mendalami ilmu agama Islam seperti Fiqh dan politik. Saat itu juga berhembus kencang suara pembaharuan dunia Islam yang sedang membebaskan diri dari Imperialis Barat. Seperti pembaharuan yang dibawa Muhammad Abduh (1849-1905), Rasyid Ridha (1865-1935) dan ide Pan-Islamimsme (solidaritas antar-umat Islam) yang nantinya bertemu di Makkah saat musim Haji. Pertemuan dengan tokoh-tokoh Islam dari berbagai belahan dunia itulah yang memperkaya pemikiran pembaharuan dalam diri Samanhudi. Latar belakang inilah yang menginspirasinya kesadaran Samanhudi untuk mengadakan perkumpulan di Surakarta sepulangnya dari menunaikan ibadah Haji.

Keinginan luhur Haji Samanhudi untuk mempersatukan masyarakat muslim di Laweyan diwujudkan dengan didirikannya Mardhi Budhi. Perkumpulan ini mengurusi masalah kematian dan pemakaman. Pada tahun 1912, Haji Samanhudi juga mendirikan perkumpulan Rekso Roemekso yang berfungsi menjaga keamanan kampung Laweyan. Perkumpulan Rekso Roemekso nantinya berubah menjadi Sarekat Islam.

Pada masa kolonial, perdagangan di Hindia Belanda lebih banyak dimonopoli oleh orang Eropa dan pedagang asing dari luar Hindia Belanda khususnya Cina. Banyak keistimewaan yang diberikan kepada pedagang Cina oleh pemerintah kolonial yang seringkali menimbulkan kondisi ketidakadilan bagi kaum pribumi. Persaingan perdagangan batik yang semakin meruncing antara pedagang pribumi dan Cina membuat Haji Samanhudi tergerak untuk melindungi kelangsungan usaha pedagang pribumi sehingga perlu didirikan suatu perkumpulan.

Perkumpulan Rekso Roemekso yang beranggotakan para pedagang batik dan beberapa pegawai rendah Kepatihan tidak tahu menahu perihal penyusunan anggaran dasar sebuah perkumpulan. Status sosial Haji Samanhudi sebagai pedagang membuatnya memiliki relasi yang sangat luas di Surakarta. Salah satu kenalannya di Kepatihan yang bernama R. Djojomargso diminta secara langsung oleh Samanhudi untuk membantunya menyusun anggaran dasar perkumpulan Rekso Roemekso. Setelah itu R. Djojomargoso menghubungi rekannya yaitu Mas Tirtoadisoerjo (redaktur surat kabar Medan Priyayi).
KH. Samanhudi dalam Perangko
Foto KH. Samanhudi dalam Perangko
Keputusan R. Djojomargso secara pribadi meminta bantuan Mas Tirtoadisoerjo untuk membantu penyusunan anggaran dasar Rekso Roemekso bukanlah tanpa alasan. Sebelumnya Mas Tirtoadisoerjo mempunyai pengalaman keberhasilan mendirikan Sarekat Dagang Islam (SDI) yang berdiri di Batavia (1909) dan di Bogor (1911) sehingga R. Djojomargso menganggap Mas Tirtoadisoerjo adalah sosok yang tepat untuk urusan itu. Atas bantuan Mas Tirtoadisoerjo, perkumpulan Rekso Roemekso akhirnya berstatus hukum dan berubah nama menjadi Sarekat Dagang Islam (SDI).

Peranan KH. Samanhudi dalam Sarekat Islam   

Pada awalanya Sarekat Dagang Islam merupakan perkumpulan sederhana yang terus diupayakan Haji Samanhudi menjadi organisasi yang lebih besar dan moderen. Upaya itu meliputi pembentukan surat Kabar Sarotomo yang mulai terbit pada Maret 1912 dan Masjid Sarekat Islam yang memberi pertolongan bagi kaum Islam yang meninggal dunia yang tidak memiliki kerabat.

Upaya pengembangan Sarekat Dagang Islam pun berbuah hasil yang gemilang, secara bertahap anggota Sarekat Dagang Islam terus bertambah selama tahun 1912. Menurut laporan seorang redaktur Djawi Kondo yang pada waktu itu sedang berjalan-jalan kekeliling kota Surakarta dan singgah di Laweyan, mengatakan bahwa anggota yang mendaftar sejumlah kurang lebih 3000 orang,

Pemerintah kolonial yang merasa khawatir akan perkembangan Sarekat Dagang Islam, mulai mencari-cari alasan untuk membatasi pergerakan SDI. Pemerintah kolonial menuduh semakin bertambahnya anggota SDI ada hubungannya dengan meningkatnya gerakan sosial yang menimbulkan kekacauan di masyarakat. Berdasarkan alasan itulah pemerintah kolonial menjatuhi hukuman pembekuan sementara pada 10 Agustus 1912. Akibatnya SDI dilarang menerima anggota baru dan semua kegiatan SDI dihentikan sementara.

Selanjutnya untuk benar-benar membubarkan SDI, pemerintah kolonial membutuhkan bukti yang menguatkan tuduhan mereka. Aksi penggeledahan di kantor-kantor SDI dan di rumah Haji Samanhudi hingga petinggi-petinggi SDI lainnya pun dilakukan. Namun tidak pernah ditemukan bukti yang menguatkan jika SDI adalah organisasi yang membahayakan pemerintah kolonial. Pada akhirnya pembekuan sementara pun ditangguhkan dan status hukum SDI dikembalikan, namun pemerintah kolonial tetap meminta SDI untuk memperbaiki administrasi dan keanggotaan mereka.

Disaat yang hampir bersamaan, hubungan Haji Samanhudi dengan Mas Tirtoadisuryo mengalami keretakan. Tirtoadisuryo menganggap bahwa Sarekat Dagang Islam yang didirikan di Surakarta merupakan cabang dari organisasinya yang lalu, sedangkan Samanhudi menganggap itu adalah proyeknya. Kerjasamanya dengan Tirtoadisuryo pun berakhir.

Sekarang pilihan Haji Samanhudi untuk mengembangkan Sarekat Dagang Islam jatuh pada sosok Tjokroaminoto. Khususnya di Jawa, Tjokroaminoto (anggota SDI di Jawa Timur sejak Mei 1912) dikenal sebagai sosok priyayi yang jujur dan berani bersuara menentang kebijakan pemerintah kolonial yang menyengsarakan rakyat. Karakter itulah yang dicari oleh Samanhudi untuk membantunya mengembangkan Sarekat Dagang Islam.

Melejitnya Popularitas KH. Samanhudi dalam Sarekat Islam.

Sejak itu, diskusi antara Samanhudi dan Tjokroaminoto lebih sering dilakukan hingga pada satu kesempatan Tjokroaminoto menyampaikan gagasannya untuk mengubah nama Sarekat Dagang Islam menjadi Sarekat Islam (SI) dengan pertimbangan nantinya anggota SI tidak terbatas pada kaum pedagang. Gagasan itu diterima oleh Samanhudi. Perubahan nama itu resmi diberlakukan dengan dirubahnya nota organisasi pada tahun 10 September 1912.

Penyusunan anggaran dasar SI segera dikerjakan dengan memperhatikan saran pemerintah kolonial sebagai bentuk tanggung jawab dan komitmen. Anggaran dasar yang disusun oleh Samanhudi sangat menekankan kebaikan moral anggotanya. SI sangat melarang sifat kemunafikan (ingkar) anggotanya karena akan membimbing ke perilaku yang sesat. SI juga menjunjung tinggi nilai-nilai tata krama, seperti toleransi dan saling menghormati antar sesama, jika ada kritikan dapat disampaikan dengan cara-cara yang bijaksana. Samanhudi juga menghimbau anggotanya untuk menjadi insan menjaga kualitas kehidupan lahir dan batin.

Dalam tahap awal pembentukan SI Surakarta, Samanhudi lebih menekankan untuk memperjuangkan dan menyejahterahkan perekonomian pribumi. Pada usia yang masih muda, SI sebagai organisasi telah menunjukkan arah pergerakan yang sangat mendasar karena pemikiran-pemikiran Samanhudi.

Posisi Samanhudi di SI semakin kuat ketika pada Kongres SI di Surabaya (25-26 Januari 1913) dirinya dipilih menjadi ketua SI bersama dengan Tjokroaminoto sebagai wakil ketua. Kongres SI di Surabaya juga menghasilkan keputusan bahwa SI akan dipecah menjadi 3, yakni Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur. Masing-masing akan mengadakan Hoofdbestuur. Ketiganya akan dipimpin oleh Centraal Comite yang berkedudukan di Solo.  Surabaya ditentukan menjadi Hoofdbestuur Jawa Timur, sedangkan Jawa Barat dan Jawa Tengah belum ditentukan.

Pada tahun 25 Maret 1913, Kongres kedua SI dilaksanakan di Taman Sriwedari Surakarta dengan agenda pemilihan Centraal Comite (pengurus besar). Posisi Samanhudi masih sebagai ketua, Tjokroaminoto sebagai wakil ketua dan Pangeran Hangbehi (putra Pakubuwana X) sebagai pelindung SI. Partisipasi Pangeran Hangbehi merupakan bukti keberhasilan Samanhudi dalam upayanya mencari dukungan politik dari keraton. Dengan dukungan keraton akan semakin memperkuat kekuatan politik SI dalam menghadapi pengaruh pemerintah kolonial yang dirasakan semakin luas.

Kongres SI di Surakarta dibuka oleh Samanhudi, namun ia tidak menjadi tokoh utama yang mengendalikan jalannya kongres. Tjokroaminoto, Atmo Soeharjo, Sekretaris Bestuur, dan lain-lain yang memimpin jalannya kongres ke-2 SI di Surakarta. Banyak yang memperkirakan jika pada Kongres SI kedua peranan Samanhudi dalam SI semakin berkurang.

Kemunduruan Peran KH. Samanhudi dalam Sarekat Islam

Sebelum diselenggarakannya kongres SI ke-3, telah terjadi perselisihan di dalam tubuh internal kepengurusan SI. Kedua kubu yang berseteru adalah golongan terpelajar (pendukung Tjokroaminoto) dan golongan tua kurang pendidikan (pendukung Samanhudi). Perserteruan kedua kubu ini berlanjut hingga ke bidang pers. 

Pada akhirnya, Samanhudi dan pendukungnya harus menerima kekelahan dari Tjokroaminot pada Kongres ke-3 SI yang diselenggarakan di Yogyakarta. Pada Kongres ini terpilihlah Tjokroaminoto sebagai ketua SI menggeser Samanhudi yang beralih posisi menjadi Ketua Kehormatan SI. Kemenangan Tjokroaminoto atas Samanhudi disebabkan oleh banyak anggota yang menganggap SI seharusnya dipimpin oleh seseorang yang lebih sesuai dengan zaman. Hal ini dipengaruhi oleh upaya Tjokroaminoto bersama Dr. Rinkes ke daerah-daerah untuk memperingatkan para pamong praja di daerah-daerah untuk tidak menghalangi perkembangan SI.

Walaupun tidak lagi menjabat sebagai ketua SI secera keseluruhan, Samanhudi tetap menaruh perhatiannya pada SI di tingkat lokal. Samanhudi masih aktif dalam aktifitas SI Surakarta seperti bekerjasaman menjaga keamanan kampung, memberikan perhatian terhadap perdagangan batik Pribumi, Sanitasi melalui Peraturan Woningverbetering, memberi bimbingan untuk para anggota Sarekat Islam dan tetap berusaha menjaga hubungan dengan SI Lokal lainnya.

Peranan Samanhudi dalam SI secara keseluruhan menurun drastis. Ia mulai mengabaikan kegiatan-kegiatan SI yang dinilainya sudah berubah tujuan dari awal organisasi ini didirikan. Sejak Kongres SI di Yogyakarta, ia seringkali tidak menghadiri rapat penting atau kongres SI. 

Kehidupan KH Samanhudi Setelah Kemerdekaan Indonesia  

Perhatian yang dicurahkan oleh Samanhudi kepada SI begitu besar. Dari awal organisasi ini dibentuk hingga memiliki anggota yang sangat besar pada waktu itu, sudah banyak harta dan kekayaannya diberikan untuk SI. Bahkan terkesan tidak berfikiran panjang untuk masa depan keturunannya.

Di saat Samanhudi mengalami kebangkrutan dalam usaha batiknya, tidak banyak keluarganya yang dapat membantu dikarekanakan tidak semua putra-putrinya terampil berdagang batik seperti dirinya. Satu-persatu hartanya harus dijual sehingga membuatna harus hidup berpindah-pindah dan bergantung pada anak-anaknya. Sampai akhirya Samanhudi meninggal dunia pada tanggal 28 Desember 1956 dan dimakamkan di Grogol, Banaran, Kabupaten Sukoharjo. 



Demikian narasi sejarah sederhana KH. Samanhudi yang dapat saya bagikan kepada sobat sejarah. Banyak sekali nilai-nilai positif yang dapat diteladani dari sosok e.

Salam Historia.
LihatTutupKomentar