Pahlawan Nasional : Abdul Muis


Nama Lengkap : Abdoel Muis
Lahir : Sungai Puar, Bukittinggi, Sumbar, 3 Juli 1883
Wafat : Bandung, 17 Juni 1959
Makam : Bandung
Gelar : SK Presiden RI No. 218/195)

Abdul Muis atau Abdoel adalah putra Datuk Tumenggung Lareh. Seperti halnya orang Minangkabau, Abdul Muis juga memiliki jiwa petualang yang tinggi. Sejak remaja, ia sudah meninggalkan kampung halaman untuk merantau ke Pulau Jawa. Bahkan, masa tuanya dihabiskan di perantauan.

Pendidikan

Abdul Muis lulusan Sekolah Eropa Rendah (Eur. Lagere School atau yang sering disingkat ELS). Ia juga pernah mengenyam pendidikan di Stovia (Sekolah Dokter Bumipitera) selama 3,5 tahun (1900--1902). Namun karena sakit ia memutuskan keluar dari sekolah kedokteran tersebut.

Karir

Meskipun tidak menuntaskan pendidikannya di STOVIA, Abdul Muis dikenal memiliki kemampuan berbahasa Belanda di atas rata-rata orang Belanda sekalipun. Hal inilah yang nantinya menjadi aalah satu penyebab Mr Abendanon, Directeur Onderwzjs (Direktur Pendidikan) di Departement van Onderwijs en Eredienst yang membawahi Stovia, menjadi klerk(pekerja kantoran). Abdul Muis merupakan orang indonesia pertama yang dapat menjadi klerk.

Setelah bekerja selama 2,5 tahun di departemen itu, akhirnya Abdul Muis memutuskan untuk berhenti dan memulai karirnya di dunia jurnalistik.

Abdul Muis pernah bekerja di beberapa redaksi majalah dan surat kabar harian. Pada 1905, ia diterima sebagai anggota dewan redaksi majalah Bintang Hindia, sebuah majalah yang banyak memuat berita politik di Bandung.

Abdul Muis pindah kerja ke Bandungsche Afdeelingsbank sebagai mantri lumbung karena pada tahun 1907 majalah Bingang Hindia dilarang terbit. Karir Abdul Muis di sana hanya berlangaung selama 5 tahun, sebelum ia diberhentikan dengan hormat (karena cekcok dengancontroleur) pada 1912 dan kembali menjadi wartawan pada surat kabar Belanda Preanger Bode dan majalah Neraca pimpinan Haji Agus Salim sebagai korektor. Dalam tempo 3 bulan ia diangkat menjadi hoofdcorrector (korektor kepala) karena mempunyai kemampuan berbahasa Belanda yang baik.

Menuju Panggung Politik

Setahun kemudian Abdul Muis keluar dari De Prianger Bode. Sebagai pemuda yang berjiwa patriot, ia mulai masuk ke dunia politik dan masuk ke Serikat Islam (SI). Kemudian, ia diangka menjadi salah satu pengurus besar. Bersama mendiang A.H. Wignyadisastra, ia dipercaya memimpin Kaum Muda, salah satu surat kabar milik SI yang terbit di Bandung.

Pada tahun 1913, pemerinyah Belanda berencana mengadakan perayaan besar-besaran untuk pemperingati seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan bangsa Perancis. Namun, mendapat penolakan dari beberapa tokoh pergerakan nasional dengan mendirikan Komite Bumiputera. Abdul Muis yang merupakan salah satu pendiri komite tersebut akhirnya ditangkap oleh Belanda.

Pada 1917, ia dipercaya sebagai utusan Sarekat Islam ke negeri Belanda untuk mempropagandakan Comite Indie Weerbaar yang bertujuan untuk memperjuangkan diadakannya wajib militer di Indonesia. Hal ini perlu diperjuangkan karena masalah pertahanan bagi Indonesia sehubungan dengan terjadinya Perang Dunia I. Perjuangan Abdul Muis bersama H.O.S Tjokroaminoto ternyata gagal memengaruhi pemerintahan Belanda, namun mereka berhasil memperngaruhi pemerintah Belanda untuk mendirikan sekolah tekni yang bernama Technische Hogescool di Bandung (Cikal Bakal Institut Teknologi Bandung (ITB)). 

Pada 1918, sekembalinya dari Belanda, Abdul Muis pindah bekerja ke harian Neraca karena Kaum Muda telah diambil alih oleh Politiek Economische Bond, sebuah gerakan politik Belanda di bawah pimpinan Residen Engelenberg. Pada tahun yang sama Abdul Muis menjadi anggota dewan Volksraad (Dewan Rakyat Jajahan) yang pertama (1920-1923).

Pada 1992 di Yogyakarta, Abdul Muis memimpin pemogokan kaum buruh. Karena dianggap mengahsut dan memelopori pergerakan kaum buruh di Yogyakarta untuk menentang Belanda, Abdul Muis ditangkap dan dibuang di Garut Jawa Barat. 

Di samping berkecimpung di dunia pers, Abdul Muis tetap aktif di dunia politik. Pada 1926 Serikat Islam mencalonkan dia dan terpilih menjadi anggota Regentschapsraad Garut. 6 Tahun kemudian (1932) ia diangkat menjadi Regentschapsraad Controleur. Jabatan itu diembannya hingga Jepang masuk ke Indonesia. Karena sudah merasa tua, pada 1944 Abdul Muis berhenti bekerja.

Setelah Kemerdekaan Indonesia

Setelah kemerdekaan Indonesia, Abdul Muis mendirikan organisasi Persatuan Perjuangan Priangan, suatu badan perjuangan dalam badan mempertahankan kemerdekaan. Sastrawan, pejuang dan wartawan ini meninggal dunia di Bandung pada 17 Juni 1959 dalam usia 76 tahun. Jenazahnya dimakamkan di Taman Pahlawan Cikutra, Bandung. Ia meninggalkan 2 orang istri dan 13 anak.

Tak lama setelah Abdul Muis meninggal, pemerintah menetapkan dirinya sebagai Pahlawan Nasional yang pertama berdasarkan Kepres No. 218 Tahun 1959 tertanggal 30 Agustus 1959. Sejak itulah pemberian gelar Pahlawan Nasional menjadi tradisi, yang dimulai dari Abdul Muis.

Abdul Muis juga dikenal sebagai seorang pengarang terkenal. Dia banyak menyoroti masalah sosial dalam kehidupan kolonial. Salah satu karya Abdul Muis yang terkenal adalah Salah Asuhan, sebuah karangan yang menceritakan masalah yang dihadapi seorang pemuda Indonesia yang berjiwa kebarat-baratan. Salah satu karya Abdul Muis lainnya adalah roman sejarah Surapati. Sebelum diterbitkan sebagai buku, roman tersebut dimuat sebagal cerita bersambung di harian Kaum Muda. 

Salam Historia. 
LihatTutupKomentar